Seperti ditulis R Kartawibawa dalam buku lama berbahasa jawa berjudul: Goenoeng Keloet, yang diterbitkan G. Kolff dan Co Soerabaia, pada 1941 silam. Karta menceritakan, setelah bertapa sekian lama akhirnya Denbagoes muksa, tak nampak oleh mata manusia.
"Tapi dia kerap hadir ketika ada kesusahan. Makanya ketika ada orang kesusahan di daerah sekitar Kelud, akan menggelar selamatan, memberi penghormatan untuk mengadu kepada Denbagoes Kliwon."
Dia menjelaskan, konon Denbagoes Kliwon ketika menampakkan diri berwujud jejaka kecil, sekitar umur 12 tahun. Terkadang dia juga berwujud orang tua berkumis. Bila dia hendak datang, cukup dengan merasuki tubuh orang yang mendadak pingsan.
"Dia juga bisa dipanggil sebagai teman (perewangan). Caranya, orang yang memanggil itu duduk menghadap dupa kukus, memberi sesajian bunga-bunga (Kenanga atau Cempaka Putih) yang dibakar, kemudian kemenyan madu atau ratus yang wangi. Si pemanggil itu yang membakar."
Si pemanggil itu biasanya membawa teman. Ketika Denbagoes Kliwon datang, teman si pemanggil bakal pingsan kerasukan. Kemudian dia bangun lagi, dan duduk dengan kondisi kerasukan. Denbagoes kemudian bertanya, "Ada apa kamu memanggilku?"
Berikutnya orang yang mengundang itu menyampaikan semua yang dibutuhkan. Denbagoes bakal menjawab seperlunya. Biasanya suara orang yang kerasukan Denbagoes juga bakal berubah, bisa jadi suara pria atau wanita.
"Ketika keperluan sudah selesai, Denbagoes bakal keluar dan merestui semua kebutuhan si pengundang. Setelah Denbagoes keluar, tubuh orang yang dirasuki itu bakal nyerocos lagi karena yang merasuki berganti perewangan (jin) lain."
Misalnya, orang yang kerasukan itu bakal mengaku sebagai Arya Blitar. Setelah Arya keluar, dia nyerocos lagi dan mengaku sebagai Djaka Kandoeng. Kondisi itu terus terjadi sampai semua yang merasuki keluar. Baru kemudian orang yang kerasukan itu terbangun.
"Djaka Kandoeng berwujur ular yang sedang melongok keluar dari dalam perut bumi. Ekornya ada di Bumiaju, sebuah rawa di lereng Gunung Kawi. Badannya tidak nampak terpendam di dalam tanah. Kepalanya berada di Sungai Brantas, nongol menghadap ke arah selatan. Kepalanya sebesar bedug."
Di dunia manusia, Djaka Kandoeng itu berwujud batu. Batu itu berada di pinggir sungai. Menurut sejarah lama, di sana juga ada tembok batu, tapal batas kerajaan Kediri, mulai dari pesisir selatan sampai ke puncak Gunung Kawi.
"Namun tembok itu juga hancur. Dan ayah dari Djaka Kandoeng bernama Nila Soewarna atau Arya Blitar."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar