Prabu Jayabaya adalah raja keturunan Airlangga. Kisah tentang Jayabaya diawali ketika Airlangga membagi kekuasaan menjadi dua yakni Panjalu dan Jenggala. Pembagian kerajaan ini setelah sebelumnya Airlangga gagal menjadikan anak dari permaisuri yakni Dewi Kilisuci yang menolak menjadi raja menggantikan Airlangga dan memilih menjadi petapa.
Dalam beberapa kitab kuno terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri, cerita panjang Kediri berawal ketika pembagian kerajaan oleh Airlangga ternyata justru menimbulkan konflik di antara Panjalu dan Jenggala. Kedua kerajaan ini senantiasa perang saudara, diawali antara Samarawijaya (Panjalu) dan Panji Garasakan (Jenggala).
Tahun 1052 M terjadi perebutan kekuasaan antara kedua belah pihak. Awalnya Panji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya. Tapi pada 1059 Masehi muncul seorang raja lain, yaitu Raja Samarotsaha. Raja itu berkuasa di Kerajaan Jenggala.
Raja Samarotsaha adalah menantu Raja Airlangga. Namun, tahun 1104 Masehi tampil Kerajaan Panjalu sebagai rajanya yaitu Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kediri yang beribu kota di Daha.
Tahun 1117 M Bameswara tampil sebagai raja Kediri. Prasasti yang ditemukan antara lain, Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya pemberian status perdikan untuk beberapa desa.
Menurut ahli sejarah Kediri, Ki Tuwu atas konflik yang berkepanjangan itu pada 1135, tampil raja yang terkenal yaitu Raja Jayabaya. Jayabaya ingin mengembalikan kejayaan seperti masa Airlangga dan ternyata ini berhasil, Panjalu dan Jenggala dapat bersatu kembali. Hal itu dijelaskan dalam Prasasti Hantang (1057 Saka) atau 1135 M dituliskan kata Pangjalu Jayati, artinya Panjalu menang berperang atas Jenggala dan sekaligus untuk menunjukkan bahwa Jayabaya adalah pewaris takhta kerajaan yang sah dari Airlangga.
"Beliau adalah orang yang kuat, adil, bijaksana, berilmu bathin tinggi, berperasaan halus dan berpikiran tajam serta dapat meramalkan hal-hal yang belum terjadi," kata Ki Tuwu kepadamerdeka.com
Menurut Ki Tuwu, Prabu Jayabaya pernah berguru kepada seorang pendeta sakti yang amat dihormatinya. Dalam atlas walisongo, karya R.Ng. Agus Sunyoto guru yang dihormati itu adalah Syaikh Syamsuddin yang dikenal dengan nama Syaikh Wasil yang makamnya berada di Komplek Makam Auliya Setonogedong, Kota Kediri. Hubungan kedua orang ini juga disinggung dalam Kakawin Hariwangsa.
Dalam epilog Kakawin Hariwangsa Karya Mpu Panuluh yang memaparkan keberadaan Sri Mapanji Jayabaya dan guru penasehatnya dalam gambaran yang menyatakan bahwa Wisnu telah pulang ke Surga, tetapi turun kembali ke bumi dalam bentuk Jayabaya untuk menyelamatkan tanah Jawa.
Sebagai titisan Wisnu Jayabaya ditemani oleh Agastya yang menitis dalam diri pendeta kepala Brahmin penasihat raja. Prof Dr. Poerbotjaraka dalam Agastya in den Archapel memaparkan hubungan Jayabaya (titisan Wisnu) dengan gurunya (titisan Agastya) dengan mengutip sajak Kakawin Hariwangsa yang ditulis Mpu Panuluh yakni :
hana desa lengong leyep langonya / ri yawadwipa kasankhya nusa sasri / palupuy hyang agastya tan hanoli / ya tika trasa hilang halepnya mangke // umuwah ta sira ng watek hyang aswi / anuduh te ri bhatara padmanabha / ya tika pulihen langonya raksan / ri sira, hyang hari tan wihan lumampah // irikan dadi bhupati prasidha / maripurnaken ikang prajatisobha / subhaga n madhusudanwatara / sira ta sri jaya satru kaprakasa //
(Terjemahan bebesnya adalah : Ada sebuah negeri yang indah, keindahannya laksana impian, disebut pulau Jawa, sebuah pulau yang megah. Jawa adalah kitab dari Agastya yang sakti tiada bandingan, pulau itu itu sekarang dihinggapi ketakutan, sehingga keindahnnya lenyap. Kemudian berkumpul dewa-dewa bersama Hyang Aswi. Bersama-sama memohon dengan sangat kepada bhatara Padmanabha, untuk memperbaiki dan menjaga keindahan pulau tersebut. Dewa Hari ikut serta pergi kesana. Kini ia telah benar-benar menjadi raja, yang menyempurnakan lagi kehidupan hamba sahayannya, dia adalah inkarnasi dari Madhusudana-awatara. Dia termasyhur dengan nama Sri Jaya-Satru (Jayabaya).
Sebagian orang menafsirkan guru Jayabaya adalah Mpu Sedah. Sementara sebagian yang lain menafsirkan bahwa Mpu Sedah adalah guru Jayabaya dibidang sastra. Sedangkan biksu pandhita adhikara yang disebut dalam Hariwangsa adalah Syaikh Syamsuddin Al Wasil, yang tidak sekadar mengajarkan ilmu perbintangan dan nujum, melainkan menunjukkan karomah-karomah yang digambarkan seperti kesaktian Rsi Agastya.
Menurut R. Ng Agus Sunyoto, ahli sejarah yang menulis Atlas Walisongo, sebutan Biksu dan kemudian pandhita lazim digunakan untuk menyebut tokoh-tokoh Islam pada zaman itu. Seperti area makam Fatimah binti Maimun yang dalam prasasti Leran disebut Susuk (tempat suci). Sebutan untuk Syaikh Maulana Malik Ibrahim, pengangkatan saudara tua Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang bernama Ali Murtadlo sebagai Raja Pandhita di Gresik. Sebutan Pandhita Ampel untuk Sunan Ampel dan Pandhita Giri untuk Sunan Giri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar