Kemarin Gunung Merapi di Yogyakarta kembali "batuk". Gunung berapi teraktif di Pulau Jawa itu menyemburkan material pasir dan kerikil. Beberapa permukiman penduduk di sekitarnya pun tak luput dari guyuran hujan abu, misalnya beberapa desa di Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah.
Akibat aktivitas merapi, penduduk di sekitarnya panik mencari tempat aman untuk berlindung. Letupan merapi kali ini cukup unik karena terjadi menjelang pemilu, tepatnya di saat masa kampanye partai politik.
Ada sebuah kajian tentang kidung kuno leluhur orang Jawa yang mengaitkan letusan Merapi ini dengan kisah Sabdo Palon dan Noyo Genggong. Keduanya merupakan abdi dalem dan pendamping Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit sekitar abad 15.
Sabdo Palon dan Noyo Genggong bertugas mendampingi dan memberi masukan kepada Prabu Brawijaya V tentang banyak hal. Termasuk ketika Brawijaya bertemu dengan Sunan Kalijaga pada 1478. Kidung ini diabadikan dalam beberapa buku klasik, misalnya Buku: Sabdo Palon dan Naya Genggong Nagih Janji serta Buku: Jangka Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Kisah keduanya juga sering dipentaskan dalam pewayangan, ludruk dan ketoprak di beberapa daerah di Jawa. Banyak versi buku menulis tentang cerita dua orang puno kawan ini. Bahkan beberapa penulis mengabadikannya dalam novel sejarah, misalnya karya Damar Shashanka berjudul: Sabda Palon; Ketika Majapahit Sirna dan Islam Menaklukkan Jawa.
Namun inti dari berbagai versi kisah Sabdo Palon dan Noyo Genggong itu sama, bahwa kelak keduanya bakal kembali muncul di Tanah Jawa, menyebarkan agama budi. Kidung itu sesuai dengan ramalah Sri Aji Joyoboyo ke delapan, bahwa kelak Sabdo Palon akan kembali ke Nusantara mendampingi dan berkiprah mendampingi penguasa suatu kerajaan.
Hal itu sesuai dengan janji Sabdo Palon sendiri pada saat melihat Prabu Brawijaya V masuk Islam. Kisah ini terjadi ketika masa islamisasi terjadi di Jawa, ketika Majapahit ditaklukkan oleh kerajaan Islam Demak, Jawa Tengah. Ketika itu Brawijaya V ditaklukkan oleh anaknya sendiri, Raden Patah yang kelak keturunanya menguasai dinasti Mataraman Islam.
Konon, saat Majapahit menyerah kepada Demak, Prabu Brawijaya V pun menjadi muallaf. Brawijaya bersabda dengan lemah lembut, mengharapkan kedua punakawannya itu agar masuk Islam. Tapi Sabda Palon tetap menolak. "Diriku ini sekarang sudah memeluk Agama Rasul (Islam). Wahai kalian kakang berdua (Sabdo Palon dan Naya Genggong), ikutlah memeluk agama suci ini lebih baik karena ini agama mulia."
Ternyata Sabdo Palon dan Naya Genggong menolak dengan kata-kata kasar. "Hamba tidak mau memeluk agama Islam. Sebab hamba ini sesungguhnya Raja Dang Hyang (Penguasa Gaib) tanah Jawa. Memelihara kelestarian anak cucu (penghuni tanah Jawa) serta semua para raja yang memerintah di tanah Jawa. Sudah menjadi suratan karma kita harus berpisah sang prabu."
"Hanya saja saya menghaturkan sebuah pesan agar paduka menghitung. Kelak sepeninggal hamba, apabila sudah datang waktunya, genap lima ratus tahun, mulai hari ini, akan saya ganti agama (di Jawa), agama Budi akan saya sebarkan di tanah Jawa."
"Siapa saja yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Akan saya berikan kepada cucu saya sebagai tumbal, makhluk halus berwarna-warni (kekuatan negatif alam). Belum puas hati hamba, apabila belum hancur lebur. Saya akan membuat pertanda. Pertanda sebagai janji serius saya, ketika Gunung Merapi sudah meletus mengeluarkan lahar ke arah selatan barat mengalirnya, berbau busuk air laharnya. Itulah waktu saya sudah mulai menyebarkan agama Budi. Merapi janji saya, menggelegar seluruh jagad. Kehendak Tuhan, segalanya pasti akan berganti, tak mungkin untuk diubah lagi."
Lalu isyarat merapi batuk kemarin tepat saat masa kampanye pemilu 2014 apakah ada kaitannya dengan janji Sabdo Palon dan Naya Genggong? Anda boleh tidak percaya, toh itu hanya sekadar dongeng. Namun tidak bisa ditampik bahwa di negeri ini masih ada beberapa orang yang mempercayainya.
Yang percaya dengan dongeng Sabdo Palon dan Naya Genggong tentu mengait-ngaitkan letusan Merapi ini dengan hadirnya tokoh penting di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar